Empat Jenis wali
Jenis wali itu banyak. Jumlahnya mencapai 124.000, yang
setara dengan jumlah para nabi Menurut Syekh Muhyiddin Ibnu Arabi (w.
638 H) dalam kitab Al-Futuhat Al-Makkiyah, jenis wali ada 589
jenis. Berikut ini 5 di antaranya, saya lengkapi dengan contoh dan
penjelasan dari pengajian alm. K.H. Ahmad Shiddiq Jember di Youtube dan
kitab Jami’ Karamah Al-Anbiya’:
1. Malamatiyah atau Malamiyah (Wali yang Ingin Dicela Orang)
Wali jenis ini sukanya dicela, tidak ingin dipuji. Secara lahir beliau boleh saja berpenampilan gembel atau kayak orang gila. Kalau boleh menerka sosok wali di Indonesia yang masuk kategori ini adalah Gus Miek. Beliau keluar masuk diskotik, kumpul dengan para tunasusila, penyamun, atau bajingan.
Kyai Ahmad Shiddiq dalam salah satu pengajiannya pernah cerita, di Bagdad ada seorang wali(Ibrahim bin Khawas) yang mencuri baju orang yang lagi mandi di hamam (pemandian hangat umum atau spa). Aksi itu dilakukan dengan terang-terangan sehingga ketahuan, terus dikejar oleh massa, akhirnya ketangkap. Ketika ketangkap, massa kaget bukan kepalang, kok yang maling itu orang yang selama ini disebut dan terkenal wali.
Namanya massa mau wali kek atau siapa saja kalau maling ya dikasi pelajaran alias dipukuli. Nah, ketika si wali itu dipukuli beliau bergumam dalam hatinya, “Alhamdulillah hasil maksud saya.” Si wali bersyukur akhirnya nama baiknya tercemar yang tujuannya agar beliau bisa khusyuk bercengkrama dan berasyik-masyuk dengan kekasihnya, Allah Swt. Tidak ada yang mengganggu lagi.
2. Sufiyah (yang Tidak ‘Memiliki’ Apa-apa kecuali Allah)
Sufiyah di sini bukan sekelompok ahli tarelat yang mentalak dunia. Mereka ini menanggalkan 3 ya’ (3 -ku); li (milik-ku), ‘indi (kepunyaan-ku), mata’i (barang-ku). Mereka tidak menisbatkan kepada dirinya sesuatu apa pun karena semuanya (hakikatnya) milik Allah. Jumlah mereka tidak terbatas. Kadang berkurang kadang bertambah. Mereka ini yang biasanya bisa berjalan di atas air seperti itik berjalan di atas air dan terbang di atas awan laiknya burung.
Kyai Ahmad Shiddiq pernah cerita suatu ketika di Baghdad di “pesantren sufiyah” (pesantren untuk pelatihan menjadi sufi dan wali), ada seorang santri yang baru daftar lalu sarungnya atau jubahnya hilang, lantas ia mencarinya ke sana-ke mari seraya berkata, “Sarungku…sarungku…sarungku.” mendengar laporan itu sang mursyid mengeluarkannya dari pesantren gara-gara perkataannya “sarung-ku” itu.
So, kalau di mulut apalagi di hati seseorang masih ada ke-aku-an: HP-ku, mobil-ku, gelar-ku, pengajian-ku, buku-ku maka ia masih jauh dari jenis wali ini, sufiyah.
3. Ubbad (Ahli Ibadah)
Jenis wali ini berdasarkan ayat wa kanu lana abidin (QS Al-Anbiya’ [21]: 73). Mereka ini spesialis ibadah mahdah. Mereka menjaga diri dari iri, dengki, tamak, dan penyakit hati lainnya. Menyalurkan potensi-potensi negatif diri ke arah yang positif. Memahami ayat-ayat Allah ketika dibacakan, pahala dan dosa tergambar jelas di benaknya, huru-hara Hari Kiamat, surga dan neraka terproyeksi di hati dan pikiran mereka. Air mata mereka membasahi mihrab-mihrabnya, badannya jauh dari tempat tidur, bermunajat dengan rasa takut, harap-harap cemas, merendahkan hati dan diri.
Jika orang-orang bodoh melukainya, hanya direspons dengan terima kasih. Jika mendapati majelis tak bermanfaat, dia berlalu dengan mulia. Malam-malamnya di isi dengan sujud dan rukuk kepada Tuhannya. Gambaran huru-hara Hari Kiamat mengalahkan keasyikan tidurnya. Perutnya diajak berpuasa untuk berlomba meraih keselamatan dan kemenangan.
Salah satu pembesarnya adalah Abu Muslim Al-Khaulani (pamannya Ibnu Arabi). Beliau selalu bangun malam, jika kedua kakinya capek, beliau memukulnya dengan rotan seraya berbicara pada kedua kakinya, “Kamu lebih pantas dipukul ketimbang binatang tungganganku. Apakah sahabat-sahabat Muhammad Saw. mengira akan menang berkumpul dengan Muhammad Saw. tanpa kita. Demi Allah sungguh kita akan susul mereka sampai ke beliau sehingga mereka tahu bahwa mereka telah meninggalkan setelahnya kekasih-kekasih Allah.”
4. Zuhhad (yang Meletakkan Harta di Tangan, bukan di Hati)
Mereka yang meninggalkan dunia padahal mereka mampu dan punya. Ulama berselisih apakah orang yang miskin tapi ahli ibadah termasuk zuhhad, ataukah harus orang yang kaya saja yang ahli ibadah yang dikategorikan zuhhad? Sebagian ulama ada yang mengatakan bahwa zuhhad itu hanya berlaku pada orang yang kaya saja. Artinya, tidak ada kezuhudan kecuali bagi orang kaya. Sebab boleh jadi orang miskin yang ahli ibadah itu jika diberikan kekayaan tidak bisa zuhud. Pembesar wali macam ini adalah Ibrahim bin Adham.
Syekh Ibnu Arabi berkata. “Sebagian paman (dari ibu)-ku termasuk wali berjenis ini. Dia dulunya raja atau penguasa kota Telemsan (sekarang masuk wilayah Aljazair). Namanya Yahya bin Yaf(g)an. Pada zamannya ada seorang alim, ahli ibadah dan zuhud dari Tunisia, bernama Abdullah At-Tunisi. Beliau tinggal di luar kota Telemsan. Nama daerahnya Abbad. Beliau tinggal danberibadah di masjid sana. Kuburannya terkenal diziarahi orang.
5. Muhdasun (yang Diajak Bicara)
Yang termasuk dalam kategori ini adalah Sayyidina Umar bin Al-Khattab. Ibnul Arabi memberikan testimoni bahwa wali jenis ini yang sezaman dengan beliau adalah Abul Abbas Al-Khasyab (si penjual kayu) dan Abu Zakariya al-Bihai (al-Bijai). Jenis wali ini ada dua kelas. Kelas pertama, golongan yang diajak bicara Allah di balik hijab. Ini berdasarkan QS As-Syura [42]: 51: “Tidaklah mungkin bagi seorang manusia bahwa Allah mengajak bicara dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dari belakang tabir.” Kelas pertama ini juga bertingkat-tingkat.
Kelas kedua, mereka yang diajak bicara oleh arwah para penghuni alam malakut (malaikat) di dalam hatinya, terkadang langsung melalui telinga. Untuk mencapai kelas kedua harus melakukan riyadhah nafsiyah dan mujahadah badaniyah (tirakat) dengan beragam model, sebab jika jiwa-jiwa tersebut sudah bersih dan jernih, maka ia bisa mengetahui rahasia-rahasia yang diketahui alam malakut. Kelas kedua ini juga bertingkat.
Nah, Kyai Ahmad Shiddiq mengingatkan agar seseorang harus bisa membedakan 4 bisikan: (1) bisikan Allah disebut khatir; (2) bisikan malaikat disebut ilham; (3) bisikan hawa nafsu; (4) bisikan di hati dari setan. Ini yang sulit, membedakan keempatnya. Jadi seseorang jangan serta-merta mengklaim bisikan ini dari Tuhan lalu mengaku telah didatangi malaikat Jibril yang menyampaikan bahwa Allah telah melantiknya menjadi seorang nabi, padahal itu bisikan setan atau bisakan hawa nafsunya. Inilah sebetulnya terjadi di Indonesia akhir-akhir ini. Banyak orang bersemedi menurut caranya sendiri lalu mengklaim mendapat “bisikan” (muhdas) dari Allah. padahal itu adalah bisikan setan. Waspadalah!
---
di kutip dari
http://www.datdut.com/kategori-wali/
1. Malamatiyah atau Malamiyah (Wali yang Ingin Dicela Orang)
Wali jenis ini sukanya dicela, tidak ingin dipuji. Secara lahir beliau boleh saja berpenampilan gembel atau kayak orang gila. Kalau boleh menerka sosok wali di Indonesia yang masuk kategori ini adalah Gus Miek. Beliau keluar masuk diskotik, kumpul dengan para tunasusila, penyamun, atau bajingan.
Kyai Ahmad Shiddiq dalam salah satu pengajiannya pernah cerita, di Bagdad ada seorang wali(Ibrahim bin Khawas) yang mencuri baju orang yang lagi mandi di hamam (pemandian hangat umum atau spa). Aksi itu dilakukan dengan terang-terangan sehingga ketahuan, terus dikejar oleh massa, akhirnya ketangkap. Ketika ketangkap, massa kaget bukan kepalang, kok yang maling itu orang yang selama ini disebut dan terkenal wali.
Namanya massa mau wali kek atau siapa saja kalau maling ya dikasi pelajaran alias dipukuli. Nah, ketika si wali itu dipukuli beliau bergumam dalam hatinya, “Alhamdulillah hasil maksud saya.” Si wali bersyukur akhirnya nama baiknya tercemar yang tujuannya agar beliau bisa khusyuk bercengkrama dan berasyik-masyuk dengan kekasihnya, Allah Swt. Tidak ada yang mengganggu lagi.
2. Sufiyah (yang Tidak ‘Memiliki’ Apa-apa kecuali Allah)
Sufiyah di sini bukan sekelompok ahli tarelat yang mentalak dunia. Mereka ini menanggalkan 3 ya’ (3 -ku); li (milik-ku), ‘indi (kepunyaan-ku), mata’i (barang-ku). Mereka tidak menisbatkan kepada dirinya sesuatu apa pun karena semuanya (hakikatnya) milik Allah. Jumlah mereka tidak terbatas. Kadang berkurang kadang bertambah. Mereka ini yang biasanya bisa berjalan di atas air seperti itik berjalan di atas air dan terbang di atas awan laiknya burung.
Kyai Ahmad Shiddiq pernah cerita suatu ketika di Baghdad di “pesantren sufiyah” (pesantren untuk pelatihan menjadi sufi dan wali), ada seorang santri yang baru daftar lalu sarungnya atau jubahnya hilang, lantas ia mencarinya ke sana-ke mari seraya berkata, “Sarungku…sarungku…sarungku.” mendengar laporan itu sang mursyid mengeluarkannya dari pesantren gara-gara perkataannya “sarung-ku” itu.
So, kalau di mulut apalagi di hati seseorang masih ada ke-aku-an: HP-ku, mobil-ku, gelar-ku, pengajian-ku, buku-ku maka ia masih jauh dari jenis wali ini, sufiyah.
3. Ubbad (Ahli Ibadah)
Jenis wali ini berdasarkan ayat wa kanu lana abidin (QS Al-Anbiya’ [21]: 73). Mereka ini spesialis ibadah mahdah. Mereka menjaga diri dari iri, dengki, tamak, dan penyakit hati lainnya. Menyalurkan potensi-potensi negatif diri ke arah yang positif. Memahami ayat-ayat Allah ketika dibacakan, pahala dan dosa tergambar jelas di benaknya, huru-hara Hari Kiamat, surga dan neraka terproyeksi di hati dan pikiran mereka. Air mata mereka membasahi mihrab-mihrabnya, badannya jauh dari tempat tidur, bermunajat dengan rasa takut, harap-harap cemas, merendahkan hati dan diri.
Jika orang-orang bodoh melukainya, hanya direspons dengan terima kasih. Jika mendapati majelis tak bermanfaat, dia berlalu dengan mulia. Malam-malamnya di isi dengan sujud dan rukuk kepada Tuhannya. Gambaran huru-hara Hari Kiamat mengalahkan keasyikan tidurnya. Perutnya diajak berpuasa untuk berlomba meraih keselamatan dan kemenangan.
Salah satu pembesarnya adalah Abu Muslim Al-Khaulani (pamannya Ibnu Arabi). Beliau selalu bangun malam, jika kedua kakinya capek, beliau memukulnya dengan rotan seraya berbicara pada kedua kakinya, “Kamu lebih pantas dipukul ketimbang binatang tungganganku. Apakah sahabat-sahabat Muhammad Saw. mengira akan menang berkumpul dengan Muhammad Saw. tanpa kita. Demi Allah sungguh kita akan susul mereka sampai ke beliau sehingga mereka tahu bahwa mereka telah meninggalkan setelahnya kekasih-kekasih Allah.”
4. Zuhhad (yang Meletakkan Harta di Tangan, bukan di Hati)
Mereka yang meninggalkan dunia padahal mereka mampu dan punya. Ulama berselisih apakah orang yang miskin tapi ahli ibadah termasuk zuhhad, ataukah harus orang yang kaya saja yang ahli ibadah yang dikategorikan zuhhad? Sebagian ulama ada yang mengatakan bahwa zuhhad itu hanya berlaku pada orang yang kaya saja. Artinya, tidak ada kezuhudan kecuali bagi orang kaya. Sebab boleh jadi orang miskin yang ahli ibadah itu jika diberikan kekayaan tidak bisa zuhud. Pembesar wali macam ini adalah Ibrahim bin Adham.
Syekh Ibnu Arabi berkata. “Sebagian paman (dari ibu)-ku termasuk wali berjenis ini. Dia dulunya raja atau penguasa kota Telemsan (sekarang masuk wilayah Aljazair). Namanya Yahya bin Yaf(g)an. Pada zamannya ada seorang alim, ahli ibadah dan zuhud dari Tunisia, bernama Abdullah At-Tunisi. Beliau tinggal di luar kota Telemsan. Nama daerahnya Abbad. Beliau tinggal danberibadah di masjid sana. Kuburannya terkenal diziarahi orang.
5. Muhdasun (yang Diajak Bicara)
Yang termasuk dalam kategori ini adalah Sayyidina Umar bin Al-Khattab. Ibnul Arabi memberikan testimoni bahwa wali jenis ini yang sezaman dengan beliau adalah Abul Abbas Al-Khasyab (si penjual kayu) dan Abu Zakariya al-Bihai (al-Bijai). Jenis wali ini ada dua kelas. Kelas pertama, golongan yang diajak bicara Allah di balik hijab. Ini berdasarkan QS As-Syura [42]: 51: “Tidaklah mungkin bagi seorang manusia bahwa Allah mengajak bicara dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dari belakang tabir.” Kelas pertama ini juga bertingkat-tingkat.
Kelas kedua, mereka yang diajak bicara oleh arwah para penghuni alam malakut (malaikat) di dalam hatinya, terkadang langsung melalui telinga. Untuk mencapai kelas kedua harus melakukan riyadhah nafsiyah dan mujahadah badaniyah (tirakat) dengan beragam model, sebab jika jiwa-jiwa tersebut sudah bersih dan jernih, maka ia bisa mengetahui rahasia-rahasia yang diketahui alam malakut. Kelas kedua ini juga bertingkat.
Nah, Kyai Ahmad Shiddiq mengingatkan agar seseorang harus bisa membedakan 4 bisikan: (1) bisikan Allah disebut khatir; (2) bisikan malaikat disebut ilham; (3) bisikan hawa nafsu; (4) bisikan di hati dari setan. Ini yang sulit, membedakan keempatnya. Jadi seseorang jangan serta-merta mengklaim bisikan ini dari Tuhan lalu mengaku telah didatangi malaikat Jibril yang menyampaikan bahwa Allah telah melantiknya menjadi seorang nabi, padahal itu bisikan setan atau bisakan hawa nafsunya. Inilah sebetulnya terjadi di Indonesia akhir-akhir ini. Banyak orang bersemedi menurut caranya sendiri lalu mengklaim mendapat “bisikan” (muhdas) dari Allah. padahal itu adalah bisikan setan. Waspadalah!
---
di kutip dari
http://www.datdut.com/kategori-wali/
Comments
Post a Comment