Pandangan Hidup Pendiri Tarekat Syadziliyah

Secara pribadi Abu Hasan asy-Syadzilli tidak meninggalkan karya tasawuf, di antara sebabnya adalah karena kesibukan-kesibukannya melakukan pengajaran-pengajaran terhadap murid-muridnya yang sangat banyak dan sesungguhnya ilmu-ilmu tarekat itu adalah ilmu hakekat, ajaran-ajarannya dapat diketahui dari para muridnya, misalnya tulisan Ibn Atha ‘Illah al-Iskandar, ketika al-Syadzili ditanya perihal mengapa ia tak mau menuliskan ajaran-ajarannya, maka ia menjawab : “Kutubi Ashlati”, kitab-kitabku adalah sahabatku.9[9]

Adapun pemikiran-pemikiran al-Syadzilliyah tersebut adalah :10[10]
1. Tidak menganjurkan kepada murid-murid untuk meninggalkan profesi dunia mereka. Dalam hal pandangannya mengenai pakaian, makanan, dan kendaraan yang layak dalam kehidupan yang sederhana akan menumbuhkan rasa syukur kepada Allah Swt. dan mengenai rahmat Ilahi.
2. Tidak mengabaikan dalam menjalankan syari’at Islam

3. Zuhud tidak berarti harus menjauhi dunia, karena pada dasarnya zuhud adalah mengosongkan hati dari selain Allah.
4. Tidak ada larangan bagi kaum salik untuk menjadi miliuner yang kaya raya, asalkan hatinya tidak bergantung pada harta yang dimilikinya.
5. Berusaha merespon apa yang sedang mengancam kehidupan ummat, berusaha menjembatani antara kekeringan spiritual yang dialami oleh banyak orang yang hanya sibuk dengan urusan duniawi, dengan sikap pasif yang banyak dialami para salik.
6. Tasawuf adalah latihan-latihan jiwa dalam rangka ibadah dan menempatkan diri sesuai dengan ketentuan Allah Swt.
7. Dalam kaitannya dengan al-ma’rifah (gnosis), al-Syadzilli berpendapat bahwa ma’rifah adalah salah satu tujuan ahli tarekat dan tasawuf yang dapat diperoleh dengan dua jalan, yaitu :
Antara al-Ghazali dan al-Syadzili di samping memiliki beberapa kesamaan, juga memiliki sedikit perbedaan yaitu dalam hal upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Apabila al-Ghazali lebih menekankan Riyadhah al-Abdan atau latihan yang berhubungan dengan fisik yang mengharuskan adanya musyaqqah, misalnya bangun malam, lapar dan lain-lain, maka al-Syadzili lebih menekankan para Riyadhah al-Qulub tanpa adanya Musyaqah al-Abdan, misalnya menekankan senang (al-Fash), rela (al-Ridha) dan selalu bersyukur atas rahmat dan nikmat Allah Swt.11[11]


Syadzilli sendiri tidak mengenal atau menganjurkan muridnya untuk melakukan aturan atau ritual yang khas dan tidak satupun yang berbentuk kesalehan populer yang digalakkan, di dalam tarekat Syadzilliyah terdapat sendi-sendi yang harus dipatuhi dan kelima sendi-sendi itu adalah :
1. Semangat yang tinggi yang mengangkat seorang hamba kepada derajat yang tinggi.
2. Berhati-hati dengan yang haram, yang membuatnya dapat meraih pengalaman Allah atas kehormatannya.
3. Berlaku benar / baik dalam khidmat sebagai hamba, yang memastikannya kepada pencapaian tujuan kebesaran-Nya / kemuliaan-Nya.
4. Melaksanakan tugas dan kewajiban, yang menyampaikan kepada kebahagiaan hidupnya.
5. Menghargai (menjunjung tinggi) nikmat, yang membuatnya selalu meraih tambahan nikmat yang lebih besar.12[12]

----


7[7] IAIN Syarif Hidayatullah, op.cit., hlm. 905, lihat juga “Tarekat Syadziliyah” http://www.sufi.news.com.
8[8] Abu Bakr Atjeh, op.cit., hlm. 277
9[9] Abdurrahman Zain, Sufi dan Wali Allah, Husaini, Bandung, 1985, hlm. 99
10[10] Sri Mulyati, dkk., op.cit., hlm. 73-75
11[11] Abu Bakr Atjeh, op.cit., hlm. 27
12[12] “Tarekat Syadziliyah” http://www.sufi.news.com.

Comments

Popular posts from this blog

Empat Jenis wali

Ambilah hikmah walaupun dari orang munafik

Mengenal 5 penghulu pendiri Tarekat juga wali quthub pada zamannya